Buku : The National Interest, 16. Musim Panas 1989. Washington.
Pengantar
Karya monumental Fukuyama mengartikulasikan sebuah paradigma yang diawali dengan pembahasan bahwasanya di abad 21 ini terutama pasca Perang Dingin, telah menjamur ‘perdamaian’ di seluruh penjuru dunia. Berakhirnya masa berlaku ideologi lain, baik yang Moderat dan Kiri di panggung internasional, dengan mudahnya disimplifikasikan sebagai ‘Kemenangan’ ideologi Barat. Begitupun dalam ekonomi, komoditi yang semakin meluas, baik ragam produk (terutama fashion, dan teknologi informasi), geografis (pemasaran) maupun level pembeli (konsumen) juga dimasukkan sebagai pembenar, finalnya peradaban manusia. Makin menyatunya dunia, makin homogennya sistem pemerintahan, makin satunya pola pikir manusia, yang sebenarnya banyak sekali dibahas dalam studi globalisasi, dijadikan satu asumsi bahwa manusia mulai meyakini satu saja sistem kehidupan, yaitu Demokrasi Liberal ala Barat (Anglo-Saxon). Akhir sejarah dijumpai setidaknya dalam tiga titik nadir, yaitu, berakhirnya evolusi ideologi manusia, universalisasi Demokrasi Liberal ala Barat dan bentuk final pemerintahan ‘manusia’
Filsafat Fukuyama
Self-Confidence Fukuyama, banyak berdasarkan filosofinya sendiri tentang manusia, alam, dan kehidupan. Setidaknya ini harus ia miliki ketika ia menyeret Hegel dan Kojeve, serta (tentu saja) Marx dalam tulisannya. Memang Hegel telah menyatakan bahwa sejarahi telah berakhir, paska perang Jena. Manusia dipikirkan telah mengalami sebuah serangkaian kemajuan, milai dari tahap primitif, tribal, perbudakan, teokratik, dan akhirnya masyarakat demokrasi-egaliter. Manusia bagi Fukuyama merupakan produk dari sejarahnya yang konkret dan lingkungan sosialnya, dan bukan dari sebuah koleksi atribusi yang ‘natural’. Keunggulan beserta transformasi lingkungan natural manusia didapatkan melalui pengaplikasian ilmu dan teknologi. Di sinilah diambil notion, bahwa history (some day) culminated in an absolute moment –a moment in which a final, rational form of society and state became victorious (halaman 4).
Ilmu dan teknologi tadi, yang menjadi alat penyebar sejarah, digunakan untuk meng-advance state. Sejarah Barat kemudian dibawa ke kehidupan yang paling pelosok sekalipun. Hasilnya, ide, pola pikir kehidupanii, menjadi homogen antara nation di state yang satu dengan state yang lain. Yang kemudian terjadi dalam state yang universal homogenous adalah penyelesaian seluruh kontradiksi, pemenuhan / pemuasan kebutuhan manusia. Tidak ada perjuangan atau konflik dalam isu-isu besar, menurut Fukuyama, adalah sudah pasti. Meski ia mengakui pula bahwa berbagai konflik akan terjadi di Dunia Ketiga, akan tetapi menurutnya konflik global telah berakhir dan ini tidak hanya terjadi di Eropa. Masa depan tidak lagi bertumpu pada perjuangan untuk memenangkan ide-ide, tapi lebih bertumpu pada bagaimana mencari solusi bagi persoalan-persoalan ekonomi dan teknisiii.
Satu Dunia ?
Harapan akan keselarasan merupakan harapan yang dirasakan secara luas. Para tokoh politik dan intelektual membuat pandangan-pandangan dan paradigma yang kurang lebih sama. Tembok Berlin telah runtuh, begitu juga dengan rezim komunis. PBB mulai mendapatkan peran yang lebih multilateralistik. Negara bekas Sovyet pun menetapkan hubungan kerjasama dan kesepakatan ‘penting’. Penciptaan serta pemeliharaan perdamaian menjadi perhatian utama, hingga di titik inilah muncul idiom ‘proklamasi New World Order’.
Makin globalnya dunia, seharusnya tidak dipahami sebagai satunya sejarah dunia, satunya sejarah manusia, satunya sejarah state. Memang tidak bisa dipungkiri, saat ini Demokrasi Liberal telah menang. Ilusi akan harmonisasi dunia dibawah bendera demokrasi liberal setidaknya dapat disangkal lagi dengan makin banyaknya peperangan dan genocide di Dunia Ketiga (sebagaimana telah diakui Fukuyama diatas). Akan tetapi, tidak semudah itu disimplifikasikan bahwa manusia akan tetap bersatu dibawah bendera ideologi yang sama tetapi memiliki interest ekonomi yang berbeda. Perlu dipahami bahwa manusia memiliki sisi sifat yang kadang sering tidak rasional, manusia yang memiliki naluri untuk memiliki perbedaaniv. Sisi ini bukan tidak mungkin memicu yang dalam bahasa Barat disebut sebagai sisi primordialitas parochial. Hal ini mungkin dapat dilihat dari tuturan Mega Trend 2000 yang menyatakan bahwa penduduk AS sendiri, rumah bagi kampiun Demokrasi Liberal, mulai kembali ke masa irasional.
Sementara, lebih akadamis lagi, bahasan yang mudah dicerna mengenai masalah ini adalah tulisan pakar comparative politics yang juga advisory board The National Interest, Samuel P. Huntington. Dalam bukunya, Benturan Antar Peradaban, setidaknya, sisi ini ikut diperhitungkan, dan ternyata menjadi cukup signifikan untuk merubah wajah dunia. 8 Wajah peradaban dunia yang saling bertarung untuk menancapkan bendera baru dan mencerabut bendera Barat.
i Pemahaman tentang sejarah dalam pemikiran Barat, saya dapatkan korelasinya dengan peradaban. Pandangan Kanan yang diwakili oleh Webber dalam teori modernisasinya menyatakan bahwa sebuah nation dianggap modern dan tidak tradisional ketika ia memiliki sejarah, yang menurut saya, telah digunakan untuk membangun peradaban, bukan sekedar modernitas. Tidak heran, jika konsep dunia yang makin modern dan makin satu menjadi preseden bagi Fukuyama dalam ‘pembenaran’ teorinya.
ii Sebagaimana lazimnya pemikir kanan, Fukuyama yakin bahwa sebelum ada fakta, pasti lebih dulu adanya ide. Sehingga tidak akan mungkin ada trespass antara matter dan idea. Matter, ya matter, idea ya idea.
iii Ia juga menambahkan dalam bahasan hubungan fakta dan pemikiran (matter and idea) versi Hegel, We might summarize the content of the universal homogeneous state as liberal democracy in the political sphere combined with easy access to VCRs and stereos in the economic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar